Oleh: @faaedah
Istilah 'kaderisasi', sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga para kader persyarikatan, khususnya di kalangan IMM. Kaderisasi terdengar begitu familiar, yang pelaksanaannya dibuat secara seremoni dan terbentuk di badan persyarikatan. Namun, siapa sangka, penerjemahan dan pemaknaan kaderisasi terkadang sangat sempit dari arti kaderisasi itu sendiri.
Kebanyakan dari kader, mengartikan bahwa proses kaderisasi adalah kegiatan nginep dua-tiga hari dengan menghadirkan instruktur yang punya kuasa penuh atas jadwal pada kegiatan seharian. Di sisi lain, banyak pula yang tahu bahwa kaderisasi dibagi menjadi dua bagian, yaitu formal dan nonformal. Kaderisasi formal sering diartikan adalah pengaderan yang terjadwal dan terstruktur. Sedangkan nonformal adalah pengaderan yang berjalan secara sendirinya, bebas, dan tidak melihat sistem. Perlu digaris bawahi terkadang, kebanyakan pimpinan fokus pada pengaderan formal saja, dilakukan bak ritual tiap periode atau parahnya untuk penggugur program kerja.
Pengaderan formal dan nonformal ini sebenarnya jalannya beriringan. Tidak bisa menekankan untuk pengaderan formal atau pengaderan nonformal saja. Yang jelas, pimpinan bertanggungjawab atas keduanya.
Sadar atau tidak, kaderisasi nonformal memiliki dampak lebih besar daripada kaderisasi formal. Hal ini dapat disimpulkan, karena frekuensi dan waktu kaderisasi di luar jadwal sangat sering dilakukan. Istilah yang digunakan dalam instruktur dalam hal ini adalah follow-up, bagaimana setelah kaderisasi formal itu dijalankan, pemahaman secara ideologi dan konsep kader itu dibentuk dengan pendekatan emosional.
Mendidik para kader tentunya tidak jauh berbeda dengan mendidik seorang manusia. Dalam menjalani hidup, petunjuk manusia dalam berkembang dan tumbuh hanya ada dua sumber, yaitu; ilmu dan pengalaman. Jauh ratusan tahun lalu, filsuf Plato menyebutkan kalau pengetahuan sejati manusia adalah ingatan yang melekat dari kepalanya; yaitu hal yang dilihat, hal yang dirasa, dan hal-hal empiris lainnya.
Dalam konsepnya, ini disebut kaderisasi adalah 'tontonan-tuntunan-tatanan'. Sebenarnya, konsep ini digunakan dalam hakikat seni pertunjukkan Wayang, yang mana secara aksiologi pertunjukkan Wayang memiliki etika dan estetika ketiganya. Tetapi, kaderisasi secara tidak langsung juga memiliki konsep itu.
Jika sudah menjadi pimpinan, maka tugas yang diemban semakin besar. Tidak hanya merealisasikan program yang sudah dirapatkan, tetapi juga tugas untuk 'mengader' tunas-tunas baru, agar estafet kepemimpinan tetap berjalan.
Pimpinan dalam hierarki, lebih punya power dalam menggerakkan dan menyiram akal tunas baru dengan ideologi-ideologi ikatan. Boleh disebut bahwa pimpinan adalah contoh atau teladan untuk tunas baru yang di bawah, itu ada benarnya. Sebab, salah satu pembentuk karakter kader adalah pergerakan dan didikan dari pimpinan. Maka, perlu kiranya pimpinan memberikan banyak sikap yang baik, sebab akan menjadi 'tontonan' kader di bawahnya.
Dalam buku Atomic Habits, disebutkan bahwa, "Perilaku adalah identitas". Yang mana perilaku seseorang menunjukkan siapa identitas dirinya.
Pergerakan, perilaku, dan kebiasaan pimpinan secara tidak langsung menjadi 'tontonan' yang menjelma menjadi sebuah referensi bagi kader baru dalam bergerak di ikatan. Dalam tahap ini disebut 'tuntunan'.
Masih meminjam rujukan dari buku Atomic Habits, James Clear berpendapat sesungguhnya perubahan besar dan perubahan nyata sesuatu adalah gabungan dari ratusan sikap-sikap yang dijalankan. Sekarang bayangkan, kalau pimpinan memberikan suatu tontonan yang jauh dari bingkai amar makruf nahi mungkar, dilakukan terus-menerus dan secara tidak sadar di almamater kader baru dijadikan sebuah tuntunan. Maka, dapat dipastikan akan ada sebuah 'tatanan' buruk yang perlahan terbentuk secara sistemik.
Pun, konsep perkaderan Tontonan-tuntunan-tatanan adalah sebuah siklus yang dapat diputar secara terbalik: Tatanan-tuntunan-tontonan.
Terakhir, bentuk analoginya sebuah kaderisasi diibaratkan sebagai pohon yang tumbuh tinggi. Sebuah pohon yang punya akar kuat, dilihat dari batang, ranting,serta daunnya yang sehat. Sebaliknya untuk melihat pohon yang kurang dirawat, —tidak perlu bersusah payah untuk melihat akarnya— hanya perlu melihat batang, ranting, daun yang kurang dipupuk dan dirawat.
Kiranya kaderisasi tidak jauh berbeda.
Komentar
Posting Komentar