17
Agustus sebagai
hari peringatan kemerdekaan mengingatkan penulis tentang peristiwa pasca proklamasi, yang mana
walaupun
kita sudah menyatakan kemerdekaannya tetapi kita masih dalam kondisi terjajah.
Memang banyak sekali aksi heroik dalam peristiwa setelah kemerdekaan atau yang
sering orang sejarah
bilang “Masa
Revolusi Fisik”,
yang mana dalam definisi disebut masa
penjajahan Belanda setelah proklamasi kemerdekaan
Jika
kita memakai teori siklus yang
mengatakan bahwa perubahan sosial yang terjadi pada rakyat tidak
direncanakan atau diarahkan, tapi umumnya membuat pola yang berulang
Maka sebenarnya Indonesia saat ini masih di masa
revolusi, walupun bukan fisik. Ada beberapa analisis peristiwa yang menandakan
bahwa kita ini masih berada dalam masa revolusi :
Yang pertama adalah ketidakmerataan kemerdekaan
di setiap daerah dan individu Sebagian orang menganggap Indonesia masih terjajah dalam segala aspek. Sebenarnya itu bukan sekedar tuduhan tapi itu
diucapkan sendiri oleh Menko PMK Muhadjir
Effendy dalam, peringatan HUT RI ke-76. Jadi itu sama seperti ketika masa revolusi
fisik, yang mana saat itu kita sudah memproklamirkan kemerdekaan tapi Belanda
masih menjajah kita.
Yang kedua propagnda kemerdekaan sangatlah masif
pada masa itu, sekarang jika dilihat, banyak istilah merdeka digaungkan dalam
seluruh lini, baik dari pendidikan, ekonomi dan masih banyak lagi seperti
contoh adanya propaganda merdeka belajar,merdeka financial dan lain sebagainya.
Sama seperti dahulu ketika pasca kemerdekaan hampir seluruh tulisan di dinding dan surat kabar berisi propaganda tentang kemerdekaan.
Yang ketiga Terbentuk segregasi di
sebagian daerah, antara budaya, hukum dan agama.
Jika kita melihat sekarang ini banyak sekali perpecahan dengan
basis sektarian, contohnya di sisihkannya paham Wahabi Salafi, Syiah dan faham
HTI. Selain itu adanya ketakutan terhadap ideologi Marxis, Komunis yang mana
ketakutan dan perpecahan itu juga pernah terjadi pada masa revolusi fisik,
contoh pemberontakan PKI Musso dan pemberontakan DI/TII.
Maka dari itu sebenarnya jika kita analisis
lebih dalam, dan menarik diri lagi pada sebuah sintesis yang bersifat umum,
maka dapat disimpulkaan bahawa kita jauh dari kemerdekaan.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, kenapa kita
bereuforia dengan ketidakmerdekaan kita. Apakah arti merdeka bagi masyarakat
indonesia. Kenapa semua konsep merdeka yang digaungkan selalu gagal menciptakan
pemahaman dan rasa kemerdekaan yang komprehensif bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ya, ini sama seperti saat revolusi fisik karena di tahun 1946 dan 1947 rakyat
tidak mengerti apakah sesungguhnya arti merdeka itu
Dari penjelasan tersebut sebenarnya kita semua
belum pantas dinyatakan merdeka dan belum pantas beruforia merayakan kemerdekaan,
maka dari itu kepalsuan yang dibangun hari ini harus dihancurkan.
Penghancuran kepalsuan ini bisa dilakukan dengan
nalar kritis akan tetapi apakah fasilitas pendidikan di Indonesia menyediakan hal
tersebut ?. Jika melihat seluruh pengajaran atau kurikulum pendidikan di Indonesia
saat ini masih bersifat terpusat dan cenderung dogmatis, seolah olah guru
adalah sumber keilmuan yang tidak dapat dibantah. Padahal lmu yang bisa dipertengkarkan
lagi adalah ilmu pengetahuan yang paling baik. Selain itu ada sebab lain kenapa
kepalsuan itu sulit hilang yaitu adanya konsep feodalisme yang marak bahkan terjadi di birokrasi institusi besar.
Maka dari itu sebagai intelektual haruslah
banyak berkontemplasi lagi dan harus lebih banyak berfikir karena untuk
menguraikan kata merdeka harus dengan pikiran, bukan dengan euforia yang tidak
berguna.
Daftar referensi
Adams, C. (1984). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia. Jakarta: Pt Gunung Agung.
Fajar, A. S. (2019). Perspektif Ibnu
Khaldun Tentang Perubahan Sosial. Salam Jurnal Sosial & Budaya Syar-I
, 6 (1) : 1-12.
Nugraha, U. S. (2021). Tugu
Mardirahayu Dan Kenangan Agresi Militer Belanda Di Lampung. In B. R. Adi
Setiawan, Menyebar Semangat Sejarah Lokal (Pp. 94-101). Metro: Aura .
Komentar
Posting Komentar